Tahukah Anda bahwa fungsi pagar laut di perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko membentang sejauh 90 meter ke dalam Samudra Pasifik? Dibangun antara tahun 1993 dan 1994, struktur ini dirancang dengan pipa logam berdiameter 15 cm yang mencuat dari pasir dan diperkirakan dapat bertahan hingga 30 tahun.
Saat ini, kita dapat melihat berbagai implementasi pagar laut di seluruh dunia. Di Mesir, misalnya, pagar alang-alang digunakan untuk melindungi lahan pertanian dari banjir akibat kenaikan muka air laut. Sementara di wilayah Ceuta dan Melilla, Spanyol, pagar besar memisahkan wilayah Eropa dari Afrika, menghadapi tantangan dengan puluhan ribu migran yang mencoba melintasi perbatasan setiap tahunnya.
Dalam artikel ini, kita akan mengulas secara mendalam mengapa pagar laut menjadi komponen kunci dalam keamanan pesisir, mulai dari evolusi teknologinya hingga dampak ekonominya terhadap wilayah pesisir. Kami juga akan membahas berbagai tantangan implementasi dan solusi inovatif yang dikembangkan untuk mengatasinya.
Evolusi Pagar Laut Modern
Perkembangan pagar laut di Indonesia mengalami perubahan signifikan, terutama setelah munculnya berbagai kasus pemagaran ilegal yang merugikan nelayan. Salah satu contoh nyata adalah pagar laut sepanjang 30,16 kilometer yang membentang dari Desa Muncung hingga Pakuhaji, Tangerang. Struktur ini terbuat dari bambu setinggi enam meter, dilengkapi paranet dan pemberat dari karung pasir.
Dari Pembatas Sederhana ke Sistem Pintar
Sebelumnya, pagar laut hanya berfungsi sebagai pembatas fisik sederhana. Namun, saat ini fungsinya telah berkembang menjadi lebih kompleks. Meskipun demikian, pembangunan tanpa izin dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, seperti kerusakan ekosistem laut, habitat ikan, terumbu karang, padang lamun, dan mangrove.
Jaringan Rakyat Pantura (JRP) Kabupaten Tangerang mengklaim bahwa pagar laut modern memiliki beberapa fungsi utama, antara lain mengurangi dampak ombak, mencegah abrasi, dan meningkatkan ekonomi masyarakat. Meskipun begitu, keberadaan pagar laut tanpa izin justru merugikan nelayan dengan kerugian mencapai Rp 7,7 miliar per bulan.
Teknologi Pengawasan Terintegrasi
Untuk mengoptimalkan pengawasan wilayah pesisir, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengembangkan sistem pengawasan terintegrasi berbasis teknologi satelit yang mulai diterapkan pada tahun 2025. Sistem ini didukung oleh:
- 1.796 personil pengawas kelautan dan perikanan
- 34 armada kapal pengawas
- 2 unit pesawat patroli
- 91 unit speedboat dan Unit Reaksi Cepat
Selanjutnya, KKP berencana menambah 10 unit kapal pengawas melalui mekanisme Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN). Sistem pengawasan terintegrasi ini juga akan diperkuat dengan infrastruktur Ocean Big Data, menggunakan teknologi satelit, radar, sensor, drone bawah air, drone udara dan nano satelit untuk pemantauan di 11 WPPNRI.
Dalam implementasinya, Command Center KKP memberikan laporan secara real-time melalui citra satelit untuk mengidentifikasi indikasi pelanggaran. Kemudian, pesawat airborne surveillance melakukan validasi, diikuti dengan pengecekan final oleh Kapal Pengawas Kelautan dan Perikanan untuk tindakan penghentian, pemeriksaan dan penahanan jika diperlukan.
Berdasarkan aturan internasional UNCLOS, perairan kepulauan tidak boleh dimiliki oleh individu atau perusahaan. Hal ini diperkuat dengan pembatalan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) oleh Mahkamah Konstitusi karena tidak memenuhi aturan keadilan. Oleh karena itu, privatisasi laut yang dapat merugikan masyarakat nelayan harus dicegah melalui pengawasan yang ketat dan terintegrasi.
Peran Vital dalam Keamanan Pesisir
Sistem pengawasan pesisir Indonesia mengalami pembaruan signifikan pada awal 2025. TNI Angkatan Laut berkolaborasi dengan berbagai kementerian dan lembaga untuk memperkuat keamanan wilayah perairan nasional.
Pencegahan Penyelundupan
Bea Cukai Teluk Nibung bersama aparat penegak hukum lainnya melaksanakan patroli laut gabungan untuk mencegah peredaran narkotika, psikotropika, dan prekursor melalui jalur perairan. Upaya ini sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2020 tentang Rencana Aksi Nasional P4GN.
Pada Mei 2022, TNI AL berhasil menggagalkan upaya penyelundupan kokain seberat 179 kilogram senilai Rp1,25 triliun di perairan Selat Sunda. Operasi ini melibatkan Kapal Patroli TNI AL (KAL) Sanghiang dari Pangkalan TNI AL Banten.
Perlindungan Aset Maritim
Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama TNI AL dan instansi maritim lainnya mengambil tindakan tegas terhadap pemagaran laut ilegal. Dalam satu operasi, lebih dari 2.500 personel gabungan diturunkan untuk membongkar pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer yang membentang di 16 desa.
Operasi pembongkaran melibatkan:
- 280 armada yang beroperasi secara terkoordinasi
- Boat-boat khusus dengan teknik penarikan menggunakan tali
- Tim gabungan dari berbagai instansi maritim
Pengawasan Wilayah Teritorial
TNI AL meningkatkan intensitas patroli melalui jajaran Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal), Pangkalan Angkatan Laut (Lanal), hingga Pos Angkatan Laut (Posal). Selanjutnya, pengawasan wilayah teritorial diperkuat dengan sistem pemantauan real-time menggunakan:
- Kapal Patroli II-1014 untuk pemeriksaan rutin
- Sistem identifikasi kapal-kapal mencurigakan
- Verifikasi dokumen dan muatan kapal
Berdasarkan aturan internasional UNCLOS, Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Pasal 192 UNCLOS mengatur tentang kewajiban negara dalam perlindungan lingkungan laut, sementara Pasal 194 mewajibkan pengendalian pencemaran dari berbagai sumber.
Selain itu, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia menegaskan bahwa pemanfaatan wilayah perairan harus berdasarkan kepentingan nasional, termasuk aspek lingkungan dan ekonomi masyarakat sekitar. Melalui pengawasan ketat dan koordinasi antar lembaga, Indonesia terus memperkuat sistem keamanan pesisirnya untuk melindungi kedaulatan maritim dan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Dampak Ekonomi Pagar Laut
Pemasangan pagar laut di berbagai wilayah pesisir Indonesia telah menimbulkan dampak ekonomi yang signifikan. Berdasarkan perhitungan ekonom dari UPN Veteran Jakarta, kerugian total akibat pemasangan pagar laut ilegal mencapai Rp116,91 miliar per tahun.
Perlindungan Industri Perikanan
Namun, alih-alih melindungi industri perikanan, pagar laut justru memberikan dampak negatif terhadap mata pencaharian nelayan. Sebanyak 3.888 nelayan dan 502 pembudi daya di Tangerang dan Bekasi mengalami kerugian langsung. Pendapatan harian nelayan mengalami penurunan drastis:
- Sebelumnya: 50-100 kilogram ikan per hari
- Setelah pemagaran: Maksimal 20 kilogram per hari
Selanjutnya, kerugian ekonomi yang dialami nelayan dapat dirinci sebagai berikut:
- Penurunan pendapatan sebesar Rp93,31 miliar per tahun
- Peningkatan biaya operasional mencapai Rp18,60 miliar per tahun
- Kerusakan ekosistem laut senilai Rp5 miliar per tahun
Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga menegaskan bahwa pemagaran laut tidak hanya mencederai keadilan sosial, tetapi juga merusak tatanan ekologis dan ekonomi masyarakat pesisir. Akibatnya, nelayan harus mencari wilayah baru untuk melaut yang sering kali jauh dari rumah dan membutuhkan biaya operasional lebih besar.
Peningkatan Nilai Properti Pesisir
Meskipun demikian, beberapa pihak melihat dampak positif dari proyek pengembangan pesisir. PIK 2, misalnya, dipandang sebagai katalis pertumbuhan ekonomi yang dapat menciptakan lapangan kerja dan mendorong sektor pariwisata. Proyek ini diharapkan membawa dampak positif melalui:
- Pembangunan ekosistem ekonomi baru di sektor properti dan industri kreatif
- Penciptaan ribuan lapangan kerja dari tahap konstruksi hingga operasional
- Pengembangan sektor UKM, terutama di bidang kuliner, ritel, dan jasa
Akan tetapi, praktik pemagaran laut seringkali digunakan untuk kepentingan properti dengan cara yang tidak tepat. Di Tangerang, pembangunan pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer membutuhkan biaya sekitar Rp4,7 miliar hingga Rp5 miliar, belum termasuk upah pekerja yang ditaksir mencapai Rp12 miliar.
Investigasi menunjukkan bahwa 263 bidang tanah di perairan yang dipagari bambu telah memiliki sertifikat, dengan rincian:
- 234 bidang atas nama PT Intan Agung Makmur
- 20 bidang atas nama PT Cahaya Inti Sentosa
- 9 bidang atas nama perorangan
- 17 bidang berupa sertifikat hak milik
Sertifikat-sertifikat tersebut bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah, dan Pendaftaran Tanah. Akibatnya, masyarakat pesisir yang seharusnya mendapat manfaat dari pengembangan wilayah justru mengalami kerugian ekonomi yang signifikan.
Tantangan Implementasi
Pembangunan pagar laut di pesisir Tangerang menghadapi berbagai tantangan kompleks yang perlu diatasi. Melalui investigasi mendalam, ditemukan beberapa kendala serius yang menghambat implementasi efektif sistem pengamanan wilayah pesisir ini.
Biaya Pembangunan dan Pemeliharaan
Berdasarkan perhitungan terkini, biaya bahan baku untuk pembangunan pagar laut sepanjang 30 kilometer mencapai Rp 4,7 miliar. Namun demikian, angka tersebut belum termasuk biaya tenaga kerja yang diperkirakan membutuhkan tambahan Rp 1,8 miliar per kelompok pekerja.
Rincian biaya material meliputi:
- Bambu berdiameter 7 cm: Rp 10.000-12.000 per batang
- Anyaman: Rp 45.000 per 2 meter
- Waring: Rp 5.000 per meter
Sistem pembayaran upah pekerja menggunakan metode borongan dengan tarif Rp 60.000 per meter. Setiap kelompok terdiri dari 7-10 orang, dengan pembayaran dilakukan secara bertahap antara satu minggu hingga satu bulan sekali.
Masalah Teknis dan Operasional
Proses pembongkaran pagar laut menghadapi beberapa kendala teknis yang signifikan. Brigadir Jenderal TNI (Mar) Harry Indarto mengungkapkan bahwa operasi pembongkaran terkendala oleh:
- Kondisi cuaca yang tidak menentu
- Variasi kedalaman perairan
- Kesulitan akses di area dangkal
- Posisi bambu yang tertanam kuat di dasar laut berlumpur
Untuk mengatasi tantangan ini, tim operasi melakukan evaluasi dan penyempurnaan teknis, termasuk:
- Penyesuaian cara pengikatan tali
- Optimalisasi manuver kapal
- Penambahan jumlah personel hingga tiga kali lipat dibanding operasi awal
Konflik Kepentingan
Permasalahan tumpang tindih kewenangan antarlembaga menjadi tantangan serius dalam pengelolaan wilayah pesisir. Kasus pagar laut memperlihatkan “lubang institusi” dalam tata kelola kelautan. Ketidaksinkronan respons kelembagaan, baik di tingkat pusat maupun daerah, mengakibatkan:
- Pemborosan energi dan biaya dalam penanganan kasus
- Benturan kepentingan antarsektor
- Tumpang tindih kewenangan antarinstitusi
Selanjutnya, ditemukan indikasi manipulasi data terkait kepemilikan lahan. Dari 263 bidang sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang diterbitkan, mayoritas atas nama PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa. Meskipun begitu, Menteri ATR/BPN menegaskan akan mengevaluasi dan membatalkan sertifikat jika terbukti diterbitkan di wilayah laut.
Persoalan ini semakin rumit dengan adanya klaim dari PT TRPN yang menyatakan telah memiliki perjanjian kerja sama dan surat perintah kerja dari Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Barat pada 2023. Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Banten mengungkapkan adanya surat palsu terkait rekomendasi pemanfaatan lahan.
Untuk mengatasi berbagai tantangan ini, diperlukan penguatan literasi pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu bagi pemimpin pusat dan daerah. Selain itu, dibutuhkan lembaga koordinasi yang kuat untuk mengatur kewenangan dan mekanisme pengambilan keputusan dalam pengelolaan wilayah laut.
Solusi dan Inovasi Terkini
Inovasi teknologi terkini membawa angin segar dalam upaya pengamanan wilayah pesisir Indonesia. Berbagai solusi canggih dikembangkan untuk mengatasi tantangan yang dihadapi dalam implementasi pagar laut. Melalui integrasi sistem monitoring real-time dan pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) serta Internet of Things (IoT), fungsi pagar laut kini tidak hanya sebatas pembatas fisik, tetapi juga menjadi sistem pengawasan yang komprehensif dan adaptif.
Sistem Monitoring Real-time
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengambil langkah maju dengan mengembangkan sistem pengawasan terintegrasi berbasis teknologi satelit yang akan mulai diterapkan pada tahun 2025. Sistem ini didukung oleh infrastruktur yang tangguh, meliputi:
- 1.796 personil pengawas kelautan dan perikanan
- 34 armada kapal pengawas
- 2 unit pesawat patroli
- 91 unit speedboat dan Unit Reaksi Cepat
Selain itu, KKP berencana menambah 10 unit kapal pengawas melalui mekanisme Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN). Langkah ini diambil untuk memperkuat kapasitas pengawasan di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).
Salah satu inovasi unggulan yang dikembangkan adalah “Water level monitoring”. Teknologi ini memungkinkan pemetaan dan pengukuran perairan secara komprehensif, mencakup:
- Suhu air
- Masa jenis
- Tekanan
- Pasang surut air
Keunggulan sistem ini terletak pada kemampuannya untuk melakukan pemetaan dalam hitungan menit tanpa perlu turun langsung ke lokasi. Hal ini tentu meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengawasan wilayah pesisir secara signifikan.
Untuk memastikan akurasi dan keandalan data, sistem monitoring real-time ini juga menerapkan metode Quality of Service (QoS). Metode ini digunakan untuk menguji dan memastikan kualitas konektivitas dalam pengiriman data dari sensor ke perangkat pengguna. Dengan demikian, informasi yang diterima oleh tim pengawas memiliki tingkat akurasi dan keandalan yang tinggi dalam berbagai kondisi.
Integrasi AI dan IoT
Perkembangan teknologi Artificial Intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT) membuka peluang baru dalam pengembangan sistem pagar laut yang lebih cerdas dan adaptif. Integrasi kedua teknologi ini menciptakan ekosistem yang saling melengkapi, di mana sensor IoT mengumpulkan data dari lingkungan, sementara AI menganalisis data tersebut untuk memberikan wawasan dan tindakan yang lebih baik.
Beberapa inovasi yang dikembangkan dalam integrasi AI dan IoT untuk fungsi pagar laut meliputi:
- Smart Train Control and Monitoring System (TCMS) Sistem ini dikembangkan oleh Dr. Andry Alamsyah, S.Si., M.Sc. dengan pendanaan RISPRO LPDP. TCMS mampu secara langsung menerima, menampilkan, dan menyimpan data dari sensor yang dipasang pada unit pengawasan. Proses ini dilakukan secara real-time, memungkinkan pemantauan kondisi wilayah pesisir secara kontinyu.
- Sistem Peringatan Dini Fokus pengembangan TCMS adalah meningkatkan kemampuan dalam memberikan peringatan dini jika suatu alat akan mengalami kegagalan. Sistem ini menganalisis data secara real-time dan memberikan peringatan jika hasil perhitungan menunjukkan anomali yang mengarah pada kegagalan atau kerusakan komponen.
- Sistem Docking Otomatis Uji coba sistem docking otomatis skala penuh telah dilakukan pada lingkungan sebenarnya di Terminal Petikemas, PT Pelindo. Sistem ini memungkinkan kapal patroli untuk melakukan docking secara otomatis, meningkatkan efisiensi operasional pengawasan wilayah pesisir.
- Sistem Monitoring Cuaca Laut Implementasi IoT dan AI juga diterapkan dalam sistem monitoring cuaca laut untuk nelayan. Sistem ini menggunakan pendeteksian terpadu suhu udara dan kelembapan untuk memberikan informasi cuaca yang akurat kepada nelayan, meningkatkan keselamatan dan efisiensi operasional mereka.
- Perangkat Pintar (Smart Devices) Dr. Ir. Esther Irawati Setiawan, S.Kom, M.Kom, seorang Associate Professor di ISTTS, mengungkapkan bahwa fokus pengembangan saat ini adalah menciptakan perangkat pintar yang menggabungkan IoT dan AI. Perangkat ini tidak hanya cerdas, tetapi juga mampu beradaptasi dan mengambil keputusan sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebiasaan penggunaan.
Selanjutnya, implementasi AI dan IoT dalam fungsi pagar laut juga mencakup pengembangan sistem yang lebih kompleks, seperti:
- Ocean Big Data: Infrastruktur ini menggunakan teknologi satelit, radar, sensor, drone bawah air, drone udara, dan nano satelit untuk pemantauan di 11 WPPNRI.
- Command Center KKP: Pusat komando ini memberikan laporan secara real-time melalui citra satelit untuk mengidentifikasi indikasi pelanggaran.
- Airborne Surveillance: Pesawat pengintai udara digunakan untuk melakukan validasi terhadap data yang diterima dari sistem pemantauan satelit.
Integrasi AI dan IoT dalam fungsi pagar laut tidak hanya meningkatkan efektivitas pengawasan, tetapi juga membuka peluang untuk pengembangan sektor maritim yang lebih luas. Misalnya, data yang dikumpulkan dapat digunakan untuk penelitian ilmiah, perencanaan pembangunan berkelanjutan, dan pengembangan industri kelautan yang ramah lingkungan.
Namun, implementasi teknologi canggih ini juga menghadapi tantangan, terutama dalam hal biaya dan sumber daya manusia. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi yang erat antara pemerintah, akademisi, dan industri untuk mengoptimalkan pengembangan dan penerapan solusi inovatif ini. Dengan demikian, fungsi pagar laut tidak hanya sebagai pembatas fisik, tetapi juga menjadi sistem pengawasan yang komprehensif, adaptif, dan berkelanjutan untuk menjaga kedaulatan dan kesejahteraan wilayah pesisir Indonesia.
Pagar laut telah mengalami transformasi signifikan dari sekadar pembatas fisik menjadi sistem pengamanan pesisir yang kompleks. Meskipun begitu, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari konflik kepentingan hingga dampak ekonomi terhadap masyarakat nelayan.
Namun demikian, perkembangan teknologi membawa harapan baru. Sistem pengawasan terintegrasi berbasis satelit yang akan diterapkan pada tahun 2025, didukung infrastruktur Ocean Big Data dan Command Center KKP, menjanjikan pengawasan wilayah pesisir yang lebih efektif. Selanjutnya, integrasi AI dan IoT dalam fungsi pagar laut membuka peluang pengembangan sektor maritim yang lebih luas.
Oleh karena itu, keberhasilan implementasi pagar laut modern membutuhkan keseimbangan antara kepentingan keamanan, kesejahteraan masyarakat pesisir, dan kelestarian lingkungan. Koordinasi yang kuat antar lembaga, dukungan teknologi canggih, dan partisipasi aktif masyarakat menjadi kunci untuk mewujudkan sistem pengamanan pesisir yang berkelanjutan.